Beranda | Artikel
Mendidik Anak Setelah Lahir
Rabu, 6 Mei 2020

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary

Mendidik Anak Setelah Lahir merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary dalam pembahasan Mencetak Generasi Rabbani. Kajian ini disampaikan pada 22 Rajab 1441 H / 17 Maret 2020 M.

Kajian Islam Ilmiah Tentang Mendidik Anak Setelah Lahir

Setelah si jabang bayi lahir, maka sambutlah bayi itu dengan rasa gembira dan syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan awalilah kehidupannya dengan melaksanakan sunnah-sunnah Nabi terhadap bayi. Diantaranya:

Memberikan nama yang baik

Seperti Abdullah, Abdurrahman, nama para Nabi dan Rasul, nama orang-orang shalih dan nama-nama yang baik lainnya.

Mencukur rambutnya lalu bersedekah dengan perak seberat bobot rambut yang dicukur

Ditimbang berapa berat rambut bayi tersebut, kemudian disedekahkan perak seberat rambut bayi yang ditimbang itu.

Mentahnik bayi

Yaitu mengulum buah kurma kemudian mencicipkannya ke mulut di bayi. Ini untuk merangsang dia untuk bisa memakan makanan ataupun menyusu dan ini juga bermanfaat bagi si bayi. Maka dari itu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukannya dan menganjurkan kita untuk melakukannya.

Mengadakan aqiqah

Sesuai dengan ketentuan syariat, satu ekor kambing untuk anak perempuan dan dua ekor kambing untuk anak laki-laki apabila mampu. Anak laki-laki misalnya tidak mampu, hanya satu kambing dibolehkan menyembelih walaupun hanya satu ekor kambing untuk anak laki-laki. Tapi kalau mampu maka sempurnakan dua.

Tidak ada batasan umur di sini kambingnya, tidak seperti kambing kurban. tidak harus jantan, bertanduk dan lain sebagainya. Boleh kambing betina dan boleh kambing yang kurang dari satu tahun. Karena kalau kurban ada ketentuan umur, yaitu lebih dari satu tahun. Tapi untuk aqiqah tidak ada ketentuan umur. Cuma tentunya kita memilih yang terbaik untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, untuk melaksanakan kewajiban ini. Tentunya jangan kambing yang cacat atau kambing yang berpenyakit.

Disembelih pada hari ke-7 kalau mampu, kalau tidak mampu hari ke-14 atau paling lama hari ke-21 setelah kelahiran si anak. Berdasarkan hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Apabila lewat dari waktu-waktu itu apakah terhitung aqiqah? Disini ada perbedaan pendapat dikalangan ulama. Sebagian berpendapat boleh disembelih kapanpun itu, baik sebelum waktu yang ditentukan ataupun setelah hari yang ditentukan. Sehingga ada yang membolehkan juga mengaqiqahi seorang yang sudah dewasa. Sebagian mengartikan itu adalah khususiyah bagi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Haditsnya hasan (dihasankan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani) bahwasanya Nabi mengaqiqahi di beliau. Apakah ini bisa berlaku juga untuk umat beliau yang kita ketahui tidak ada sahabat yang mengaqiqahi dirinya, hanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sehingga sebagian besar ulama mengatakan bahwa ini salah salah satu khususiyah Nabi, bukan untuk umat beliau. Seperti beliau boleh menyembelih kambing kurban untuk umat, itu tidak bisa selain beliau. Maka tidak boleh seorang menyembelih untuk satu kampungnya atau untuk satu negaranya. Yang dibolehkan bagi kita adalah menyembelih hewan qurban untuk keluarga kita saja, bukan untuk orang lain atau satu kampung atau satu negeri.

Intinya adalah itu mungkin khususiyah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bukan untuk umat beliau. Bahwa mengaqiqahi diri setelah dewasa yang belum diaqiqahi itu khusus untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Dan sebagian berpendapat bahwa ketentuan yang disebutkan Nabi itu harus dipatuhi. Yaitu hari ke-7, 14 dan 21. Karena para ulama mengambil mafhum ‘adat (bilangan yang disebutkan). Mafhumnya adalah diluar itu tidak disebut aqiqah, walaupun dianggap sebagai suatu taqarrub ilallah dengan menyembelih hewan untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala lalu kita bagi-bagikan kepada manusia. Itu salah satu amal shalih. Yaitu menyembelih hewan untuk dibagi-bagikan. Hanya saja untuk aqiqah sudah ditetapkan waktunya; 7, 14 dan 21 hari di dalam hadits yang sahih.

Maka kita ikuti ketentuan tersebut. Sebab kalaulah boleh kapan saja, maka tidak ada makna dari penyebutan hari tersebut; 7, 14, 21.  Maka lebih kepada hati-hatian kita mematuhi dan mengikuti penanggalan yang disebutkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tersebut.

Dan aqiqah ini hukumnya wajib bagi yang mampu dan gugur bagi yang tidak mampu. Artinya kalau pada waktu-waktu yang telah ditetapkan itu kita tidak punya kemampuan, maka gugur kewajiban. Karena kaidah fiqih mengatakan: “kemampuan itu adalah alasan dibebankannya suatu kewajiban” Kalau tidak ada kemampuan, maka tidak ada kewajiban. Itulah sifat syariat kita.

Demikian juga aqiqah ini, kalau waktu-waktu yang ditentukan ini kita tidak mampu, maka gugur kewajiban atas kita. Tidak ada lagi kewajiban apabila memang kita tidak mampu.

Oleh karena itu bagi yang punya kelapangan rezeki, hendaklah dia menyembelih hewan aqiqah sebagai ungkapan rasa syukur atas kelahiran bayi tersebut. Karena seorang bayi tergadai sampai di sembelih aqiqahnya bagi yang mampu tentunya. Yang tidak mampu, Allah tidak membebani satu hambaNya kecuali menurut kemampuan yang dimilikinya.

Mudah-mudahan dengan melaksanakan dan menerapkan sunnah-sunnah ini menjadi awal yang baik dalam kehidupan anak tersebut. Kita bertawasul dengan amal shalih kita ini, mudah-mudahan anak ini bisa menjadi anak yang shalih atau shalihah karena diawali hidupnya dengan mengamalkan sunnah-sunnah Nabi terhadap bayi tersebut.

Download dan simak penjelasan lengkapnya pada menit ke-10:44

Lihat juga: Cara Mendidik Anak dan Pentingnya Mencetak Generasi Rabbani

Download mp3 Kajian Islam Tentang Mendidik Anak Setelah Lahir


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/48415-mendidik-anak-setelah-lahir/